Rabu, 02 Juni 2010

bibit kayu gharu

"Sudah gaharu, cendana pula". Itulah pepatah yang menggambarkan bahwa kedua jenis kayu tersebut melambangkan kemakmuran. Kayu cendana maupun gaharu (dari genus Aquilaria spp) merupakan kekayaan sumber daya alam dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi.

"Sudah gaharu, cendana pula". Itulah pepatah yang menggambarkan bahwa kedua jenis kayu tersebut melambangkan kemakmuran. Kayu cendana maupun gaharu (dari genus Aquilaria spp) merupakan kekayaan sumber daya alam dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi.

Getah kayu memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti gondorukem, getah gaharu yang terinfeksi, getah karet, dan banyak jenis lainnya. Kadang getah diambil dengan cara melukai pohon yang mengakibatkan kondisi kayu menjadi rusak.

Bagi kalangan tertentu, manfaat kayu gaharu telah membuahkan keuntungan yang cukup besar. Nilai ekonomis gaharu sebenarnya terletak pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon gaharu terinfeksi dan mati. Gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Aromatic resin) yang mempunyai aroma khas. Di Indonesia, dijumpai tidak kurang dari 16 jenis tumbuhan penghasil gubal gaharu.

Gubal gaharu tersebut akan tumbuh di tengah batang pohon gaharu. Secara tradisional digunakan sebagai bahan pewangi dan upacara keagamaan masyarakat Hindu dalam bentuk hio dan setanggi (dupa). Saat ini telah dikembangkan sebagai salah satu bahan baku dalam industri kosmetik, elektronik dan obat-obatan.

Adapun obat-obatan tersebut untuk menyembuhkan stres, reumatik, lever, radang lambung, radang ginjal dan kanker. Selain gubal gaharu, juga terdapat damar gaharu, kamedangan (kadar damar wangi rendah) dan abu gaharu (serbuk kayu gaharu).

Data Asosiasi Pengusaha Gaharu Indonesia (Asgarin) menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai kuota ekspor gaharu mencapai 300 ton per tahun namun akibat tingkat perburuan yang tinggi sehingga yang terpenuhi hanya sekitar 10-20 persen dari kuota tersebut.

Tingkat kelangkaan kayu gaharu juga mulai terlihat sejak tahun 1980-an ketika perburuan gaharu mulai dilakukan besar-besaran karena nilai ekspor yang tinggi.

Tidak jarang ditemui banyak pohon gaharu yang sudah mati belum saatnya karena pencarian gubal yang begitu gencar. Padahal, secara alamiah gubal tersebut akan muncul pada gaharu yang terinfeksi jamur. Akibatnya banyak gaharu yang ditebang dan sudah mulai langka, baik di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan Maluku.

Sejak saat itulah gaharu, khususnya jenis A malaccensis Lamk telah masuk dalam daftar Apendix II pada Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) IX di Florida November 1994. Ini artinya, penebangan kayu gaharu dan ekspor hasil ikutannya seperti gubal gaharu harus dibatasi.

Jenis lain yang juga mulai langka adalah Gyrimops cumingaina yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian gaharu jenis ini hanya bisa diperdagangkan jika diambil dari hasil bui daya dan bukan dari alam untuk mencegah kepunahan. Untuk jenis terbaik dari gubal gaharu kelas super harganya mencapai tiga hingga empat juta rupiah per kilogram (kg).


Jenis Gubal

Dalam perdagangan gaharu biasanya dikenal dengan beberapa jenis gubal gaharu dari yang terbaik adalah kelas Super, AB, BC, C1 dan C2 (Kemedangan). Data yang ada menunjukkan bahwa sumbangan gaharu untuk devisa negara pada tahun 1995 mencapai Rp 6,2 miliar.

Rata-rata peningkatan ekspor gaharu terus meningkat dengan tujuan Singapura, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Jepang dan Eropa. Tingkat kebutuhan dan nilai ekonomis yang tinggi menyebabkan banyak kalangan berupaya mendapatkan gubal gaharu tersebut.

Oleh sebab itu, kalangan pengusaha, aparat kehutanan dan pemerintah daerah serta masyarakat saat ini sangat mendukung upaya budidaya yang dikaitkan dengan pengembangan hutan kemasyarakatan.

Ini sangat penting mengingat budi daya gaharu pun sebenarnya bisa dilakukan dengan teknik tumpang sari pada tanaman tahunan seperti karet dan pohon sengon. Budi daya tersebut lalu didukung dengan teknik inokulasi dengan menyuntikan mikoriza (sejenis jamur) untuk mendapatkan gubal gaharu.

Nikmat gaharu mulai dirasakan oleh Usman Mansyur (41), warga desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi. Usman mengenal gaharu sejak tahun 1985 ketika banyak yang datang ke desanya dan mencari gubal gaharu. Sejumlah petani di desa tersebut pun masuk hutan untuk mendapatkan gubal gaharu. Semakin hari ternyata semakin sulit mencari pohon gaharu.

Atas dorongan berbagai pihak, melalui Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya, Usman bersama 116 petani lain di desa tersebut mulai membudidayakan gaharu di atas areal sekitar 100 hektare (ha). Tidak kurang dari 200.000 bibit gaharu sudah terjual. Sejak setahun lalu, permintaan bibit berdatangan dari Kalimantan Tengah, Suamtera Barat, Lampung, Jakarta dan Bogor. Usman mematok harga Rp 3.500 per bibit gaharu di lokasi pembibitan.

"Petani-petani sudah membudidayakan gaharu di lahan pertanian dengan tumpang sari pada tanaman karet dan sengon. Sedangkan penjualan bibit yang diambil dari alam sudah membantu anggota kelompok kami," kata Usman.

Pada usia lima hingga enam tahun pohon gaharu sudah dapat dipanen setelah disuntik dengan mikoriza dan pada bulan ke-enam mulai menunjukkan tanda-tanda terinfeksi. Gaharu pun menjadi potensi tersendiri bagi Kabupaten Merangin dengan jumlah penduduk 254.203 jiwa dan luas wilayah sekitar 767.900 ha ini.

Lahan yang tersedia dan bibit yang mudah diperoleh, biaya produksi sekitar Rp 147.000 juta untuk satu hektare lahan (sekitar 600 batang pohon, Red) seakan-akan tidak menjadi beban bagi para petani tersebut. Pola seperti ini sebenarnya sejalan dengan pengembangan hutan kemasyarakatan.


Prospek

Prospek cerah inipun mendorong Syafaruddin dan Joni Surya dari Bengkulu untuk mengembangkan dan menjual bibit gaharu. Bisnis percetakan yang dirintisnya pun dikembangkan dengan pembibitan gaharu. Permintaan bibit yang dibudidayakan baik melalui benih maupun stek terus meningkat. Bahkan, sejumlah pohon gaharu di sekitar pemukimannya telah dibeli dan tinggal menunggu panen gubal gaharu.

Namun demikian, prospek bisnis tersebut tidak menghadapi masalah. Menurut Syasri Wirzal, pedagang gaharu asal Pekan Baru ini, kendala perdagangan kayu gaharu adalah masih banyak penyelundupan sehingga mempengaruhi fluktuasi harga.

Hal tersebut menyebabkan keuntungan yang diambil lebih banyak oleh importir di Singapura dan menyebabkan harga tidak stabil. Pemerintah seharusnya mencegah agar tingkat penyelundupan dapat ditekan, apalagi pintu ekspor masih didominasi melalui Singapura.

Kondisi tersebut, jelasnya, menunjukkan bahwa budidaya yang tengah dilakukan juga harus diantisipasi dengan menjaga harga pasar yang stabil.

"Tidak menutup kemungkinan pada saat panen berlebihan harga akan anjlok sehingga petani merasa dirugikan. Untuk tanaman tahunan seperti ini perlu dijaga benar kondisi harga sehingga tidak dipermainkan oleh importir," kata Ketua Asgarin Provinsi Riau ini di Jambi beberapa waktu lalu di sela-sela kegiatan Temu Usaha Gaharu.

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hayati yang cukup besar. Nilai tambah keunggulan tersebut semakin baik jika tidak sekadar mengandakan bahan baku atau produk primer saja. Dengan demikian, potensi gubal gaharu seharusnya tidak langsung diekspor tetapi diolah sesuai kebutuhan konsumen.

Langkah ini pun semakin berdampak pada kesejahteraan pelaku usaha pengolahan gaharu dan tidak saja menguntungkan pedagang pengumpul gaharu. Sampai saat ini, keberadaan industri pengolahan harus diakui masih sangat minim.

Template by:
Free Blog Templates